Pedagogi dan Andragogi dari Perspektif Psikologi Perkembangan

Dewasa dan Anak-Anak

Pedagogi vs. Andragogi

Beberapa dari kita sudah tidak asing dengan kedua istilah tersebut. Kata “pedagogi” berasal dari Bahasa Yunani kuno παιδαγωγέω (paidagōgeō; dari παίς/país: anak dan άγω/ági: membimbing; secara literal berarti “membimbing anak”). Di sisi lain, “andragogi” berasal dari kata ἀνδρ- (andr-), yang berarti “orang dewasa”, dan ἀγωγός (agogos). Andragogi secara literal berarti membimbing orang dewasa. 

Istilah andragogi awalnya digunakan oleh Alexander Kapp, seorang pendidik dari Jerman, kemudian dikembangkan menjadi teori pendidikan orang dewasa oleh pendidik Amerika Serikat, Malcolm Knowles. Pengalaman berperan penting dalam paradigma andragogi. Semakin sering mengalami sesuatu, semakin mudah mempelajari satu subjek.

Ide konsep Andragogi berangkat dari pemahaman bahwa ketika “dewasa” kita akan memiliki konsep diri sebagai pribadi yang tidak ingin bergantung pada orang lain. Dalam konsep Andragogi, pembelajar dianggap sebagai orang “dewasa” yang mampu belajar secara mandiri. Lalu, kapankah pelajar memasuki usia “dewasa”?

Kaitannya dengan Psikologi Perkembangan

Secara umum pedagogi biasa diterapkan pada jenjang Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah, sedangkan andragogi pada Perguruan Tinggi serta dalam pekerjaan. Hal ini karena pelajar pada Sekolah Dasar dan Menengah masih belum dianggap dewasa. Berdasarkan logika tersebut, mari kita coba tinjau menggunakan kerangka perkembangan kognitif yang diajukan Jean Piaget, psikolog dan peneliti asal Swiss. Ia memetakan empat tahap perkembangan kognitif, yaitu sensorimotor stage (0-2 tahun), pre-operational stage (2-7 tahun), concrete operational (7-11 tahun), dan formal operational (remaja sampai dewasa muda).  Artikel ini akan berfokus pada dua fase terakhir dalam konteks pembelajaran.

Concrete Operational

Pada fase concrete operational, anak mulai bisa berlogika. Mereka mulai mengerti konsep konservasi (pemahaman bahwa suatu benda memiliki kuantitas yang sama meskipun diletakkan pada wadah yang berbeda). Anak-anak juga mulai bisa menggunakan penalaran induktif (menggeneralisasikan sebuah fakta berdasarkan fakta-fakta lainnya), namun masih kesulitan melakukan penalaran deduktif (menggunakan prinsip umum untuk memprediksikan hasil dari prinsip tersebut). Secara sosial, anak-anak pada masa concrete operational mulai mengerti bahwa orang lain memiliki kesadaran di luar mereka (baca lebih lanjut: egosentrisme). 

Anak pada fase concrete operational mengartikan sebuah konsep secara konkrit. Mereka cenderung kesulitan memindahkan pengertian sebuah konsep pada lebih dari satu konteks. Hal inilah mengapa seringkali ketika diminta memberikan contoh, pelajar akan cenderung mengikuti contoh yang sebelumnya mereka dengar atau baca dari sebuah sumber. Pada fase ini juga, anak juga belum bisa mengerti bahwa sebuah tingkah laku pasti memiliki konsekuensi (misalkan, membuang sampah sembarangan akan menyebabkan banjir). Mereka hanya dapat mengerti hal tersebut bila konsekuensi terjadi secara konkrit dan berdampak langsung terhadap mereka (misalkan, membuang sampah sembarangan membuat ibu meneriaki saya).

Formal Operational

Memasuki fase formal operational kemampuan logika menjadi lebih matang. Pada fase ini, berpikir teoritis, hipotetikal, dan kontra-faktual mulai terbentuk. Mereka sudah bisa mengerti konsep abstrak dan bernalar. Perencanaan dan strategi mulai bisa dilakukan. Konsep yang dimengerti dalam satu konteks bisa diaplikasikan di konteks lain. Pada fase formal operational inilah muncul kemampuan untuk mengerti bahwa sebuah tingkah laku pasti memberikan konsekuensi, baik secara langsung (diteriaki ibu) maupun tidak langsung (banjir). Individu yang mencapai fase ini lebih bertanggung jawab dengan perilaku mereka, termasuk ketika berada dalam masyarakat.

Karena teori perkembangan kognitif Piaget disusun berdasarkan paradigma negara Eropa, kita perlu melihat lebih dalam apakah masih sesuai jika diterapkan pada anak-anak Indonesia. Kenyataannya, secara garis besar kemampuan kognitif dari fase concrete operational dan formal operational masih dapat ditemukan di Indonesia, namun usia di mana anak mencapai formal operational tergantung pada lingkungan mereka, terutama lingkungan pendidikan. Malah, tidak mustahil kita menemukan orang dewasa di Indonesia yang masih dalam fase perkembangan concrete operational.

Berkembang

Apa yang bisa mendorong anak ke fase selanjutnya? 

Di sini lah pembelajaran dengan logika hipotetis bermain. Mari kita bandingkan anak-anak yang pada awal pembelajaran ditanyakan tentang apa pemahaman mereka serta rasionalisasinya dengan anak-anak yang tidak ditanyakan. Anak-anak kelompok pertama akan lebih berpartisipasi aktif dalam berusaha menemukan bukti dari pernyataan mereka, sedangkan anak-anak kelompok kedua akan cenderung secara pasif mendengarkan (atau bahkan, tidak mendengarkan sama sekali). Pada kelompok pertama, anak didorong untuk membuat sebuah hipotesis kemudian mencari bukti. Hal ini melatih kemampuan berpikir hipotetikal mereka serta meningkatkan rasa ingin tahu. Dari kemampuan berpikir hipotetikal tersebut, anak juga akan mulai bisa berpikir dengan logika teoritis kemudian kontra-faktual.

Menarik Benang Merah

Pedagogi dan andragogi sama-sama bertujuan untuk menyampaikan pembelajaran dalam bentuk yang mudah diterima oleh pelajarnya sambil mendorong perkembangan mereka (Dalam kasus ini, perpindahan fase concrete operational ke formal operational). Oleh karena itu, apakah penting mengatakan bahwa pedagogi untuk Sekolah Dasar dan Menengah, andragogi untuk Perguruan Tinggi? Kami rasa tidak sesederhana itu. Selama pembelajaran cukup menstimulasi pelajar untuk berkembang, mengapa tidak?

Related Articles

Responses

Your email address will not be published. Required fields are marked *